Jakarta – Persoalan penilaian tanah dan pemberian kompensasi menjadi salah satu aspek penting dalam kegiatan pengadaan tanah bagi kepentingan umum. Baik pada kepemilikan privat maupun tanah adat yang di dalamnya melekat hak ulayat. Sebagai upaya pemberian kompensasi yang berkeadilan dalam pengadaan tanah, perlu ada konsep penilaian yang tak hanya melihat pada infrastruktur yang menempel di atas tanah, namun juga melihat dari segi ekonomi, sosial, sejarah, dan budaya.
Bicara mengenai urusan tanah dan pengadaannya, Tenaga Ahli Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Bidang Partisipasi dan Pemberdayaan Masyarakat, Noer Fauzi Rachman menjelaskan bahwa Kementerian ATR/BPN tengah berupaya meningkatkan capaian pendaftaran tanah. Khususnya, di kawasan non hutan dengan total 126 juta bidang tanah, termasuk di dalamnya tanah adat.
“Dari capaian ini, tentunya Kementerian ATR/BPN terus berupaya agar capaian pendaftaran bisa sampai 100 persen. Namun, masalah masih ada, khususnya di tanah adat,” ujarnya pada kegiatan International Conference on Land Acquisition “Global Trends on Compulsory Acquisition of Unregistered and Customary Lands” yang diselenggarakan oleh Kementerian ATR/BPN bersama World Bank di Ritz Carlton Mega Kuningan Jakarta, pada Kamis (01/12/2022).
Terkait persoalan tanah adat, Noer Fauzi Rachman menjelaskan, perlakuan akan tanah adat dan tanah privat itu berbeda. Ia menyebut, konsep penilaian berbasis pasar tidak sesuai dan tidak kompatibel jika diterapkan untuk tanah adat. “Secara fundamental, properti privat dan properti tanah adat yang berhubungan dengan hak ulayat ini berbeda,” tuturnya.
Perbedaan ini terletak pada beberapa hal, salah satunya dari aspek hak kepemilikan. Noer Fauzi Rachman mengatakan, hak kepemilikan properti privat dapat dipindahtangankan, sedangkan tanah adat dan hak ulayat tidak bisa. “Kepemilikan properti privat itu dapat dijual belikan. Sedangkan, tanah adat ini turun-temurun dari pendahulu yang diberikan kepada generasi berikutnya. Tidak bisa dijual maupun dibeli,” jelasnya.
Lebih lanjut, Noer Fauzi Rachman menyatakan, penting untuk menciptakan keamanan bagi masyarakat adat agar dapat mengatur wilayah mereka beserta sumber daya di dalamnya. “Kita harus bisa melampaui soal penilaian berbasis pasar untuk tanah adat dan ulayat ini. Kita ingin hak ulayat eksis dan akan terus eksis. Terlebih untuk Indonesia yang memiliki keragaman bhinneka tunggal ika,” terangnya.
Hal senada diungkapkan oleh Direktur Penilaian Tanah dan Ekonomi Pertanahan, Herjon Panggabean. Ia menyampaikan, melihat isu pengadaan tanah begitu kompleks, perlu ada peran dan kolaborasi para ahli untuk memahami keadaan, terutama dalam memahami aspek ekonomi, sosial, sejarah, dan budaya di tanah tersebut. “Kegiatan proses penilaian tanah dan kompensasi dalam pengadaan tanah ini harus dilakukan dengan baik, agar tercipta pengadaan tanah yang adil dan demokratis,” ujarnya.
Herjon Panggabean juga berpendapat bahwa memberikan asas keadilan dalam kompensasi untuk kegiatan pengadaan tanah bagi kepentingan umum merupakan suatu tantangan besar. “Hal ini karena kita tak hanya menjamin untuk memulihkan keadaan masyarakat, namun juga peningkatan kualitas hidup individu atau masyarakat,” pungkasnya. (AR/BL/RY/RS)
#KementerianATRBPN
#MelayaniProfesionalTerpercaya
#MajuDanModern
#MenujuPelayananKelasDunia
Biro Hubungan Masyarakat
Kementerian Agraria dan Tata Ruang/
Badan Pertanahan Nasional
Twitter: twitter.com/atr_bpn
Instagram: instagram.com/kementerian.atrbpn/
Fanpage facebook: facebook.com/kementerianATRBPN
Youtube: youtube.com/KementerianATRBPN
TikTok: tiktok.com/@kementerian.atrbpn
Situs: atrbpn.go.id
PPID: ppid.atrbpn.go.id